Don’t judge a book by its cover. Jangan menilai sesuatu dari penampilan luarnya saja. Henry Alexie Bloem, begitu nama lengkapnya. Tubuhnya tinggi besar, rambut gondrong, dan bertato. Beberapa kalung bergantung di lehernya, menempel manis di dadanya. Sebuah gelang berbentuk garpu melingkar di pergelangan tangannya. Motor Harley Davidson menemaninya ke mana pun ia pergi. Henry bukanlah preman. Tetapi, ia adalah ahli masak profesional.
Henry sedang menjadi buah bibir. Dalam tayangan Master Chef Indonesia, Henry sempat dipercaya menjadi juri tamu. Penampilannya yang tampak “seram” sempat menakutkan sebagian besar peserta. Namun, kata Henry, di balik tampangnya yang menurut sebagian orang seram, ia justru adalah orang yang simpel dan apa adanya. “Kalau urusan kerja, saya memang orangnya serius, disiplin, dan tegas tapi hati saya selembut salju,” ujarnya sembari tertawa.
Saat tampil dalam Master Chef Indonesia, ia menuturkan kagum dengan kemampuan para kontestan yang mampu menampilkan aneka makanan yang menarik karena mereka bukan para chef profesional tapi awam berasal dari berbagai profesi.
Nasi Jenggo
Terlahir dari keluarga penjual babi guling, tak pernah terlintas dalam pikirannya bekerja sebagai tukang masak. Nakal dan bandel, itulah sosok Henry waktu remaja. Namun, walaupun bandel dan kerap keluyuran ke Kuta, ia tak pernah ketinggalan kelas. Tamat SMP dan SMA Widyapura, ibunya sempat menasihatinya. “Mau jadi apa terus-terusan hidup di jalan. Teman-temanmu sudah sibuk daftar kuliah.” Tak ingin mengecewakan ibunya, Henry mendaftar Diploma I Tata Boga di BPLP Dyanapura. Setahun setelah menamatkan pendidikannya, ia langsung bekerja. Namun, ia mengaku, masih saja bandel dan keluyuran. Bekerja pun ia lakukan tak lebih hanya sebagai suatu keharusan tanpa memiliki target apa-apa. Setelah berpindah dari satu hotel ke hotel bahkan sempat bekerja di Lombok dan Batam, Henry mencoba berkarier di Jakarta.
Tahun 1995, Henry mulai terusik untuk melakukan suatu perubahan dalam hidupnya. Ia mulai mengembangkan bakat memasak yang ternyata sudah dipunyai sejak kecil karena terbiasa melihat ibunya meracik bumbu untuk masakan babi guling. Beberapa rumah makan yang terkenal seperti rumah makan Babi Guling Rebo dan Lodera merupakan rumah makan yang dimiliki saudara ibunya. Saudara ibunya yang lain, Men Jengki juga berjualan nasi babi guling di Pasar Sanglah. Ibunya sendiri berjualan nasi babi guling sejak tahun 1972. Nasi babi guling dijual ke Pelabuhan Benoa untuk supir tangki dan kuli pelabuhan. Bangun mulai pukul 1 dini hari, Henry sudah terbiasa melihat ibunya sibuk membuat nasi bungkus babi guling. Dengan lauk seekor babi berat 15 kilogram, ia mampu mendapatkan 150 bungkus nasi jenggo.
President of Asociacion de Restauradores Gastronomicos de Las Americas (AREGALA) Indonesia ini menuturkan, ayahnya suka sekali menonton film koboi. Pemainnya disebut Jenggo. Waktu kecil, Henry sering dinyanyikan lagu Jenggo. Karena sering didengar para tetangga, dikira Henry bernama Jenggo. Sejak itu ia dipanggil Jenggo. Karena ibunya dipanggil Men Jenggo, nasinya pun disebut nasi jenggo. Itulah cikal bakal nama nasi jenggo yang belakangan dikenal sebagai makanan khas Bali. Awalnya memang dimulai dari nasi bungkus babi guling. Namun, dalam perjalanan, ibunya sering sakit-sakitan. Setelah ditanya ke orang pintar, ibunya diminta melakukan pekerjaan spiritual (nyungsung). Tahun 1983, ibunya berhenti berjualan. Namun, karena kepiawaiannya membuat bumbu bali, ia tetap diminta mengerjakan bumbu bali untuk dikirim ke hotel.
Tahun 1984, di Pasar Kumbasari mulai muncul nasi jenggo yang dikembangkan orang lain dengan isian nasi putih, mi, be sisit, dan sambal pedas. Mulailah nasi jenggo dikenal sampai ke areal wilayah Suci dan sampai sekarang menjadi ikon makanan khas Denpasar. Namun, kata Henry, tak banyak yang tahu bagaimana sejarah nasi jenggo yang sebenarnya.
Saat meniti karier di Jakarta, berbagai penghargaan diterima Henry dalam bidang kuliner, mulai dari food carving dan nasi tumpeng. Tahun 1999, Henry pulang kampung. Ia ingin melanjutkan kariernya di Bali. Henry serius menekuni kuliner dengan mengikuti berbagai perlombaan masak. Berbagai penghargaan terus disabetnya seperti Indonesian Chef of the Year 2002 versi Unilever dan Indonesian Chef of The Year 2003 versi ABC. Kebanggaan baginya, ketika ia memasak khusus untuk Presiden AS George Bush dan Megawati di Patra Jasa Bali. Tahun 2011, Henry kembali mendapat penghargaan Indonesian Archipelago Award 2011 dari Manan Foundation atas dedikasinya merangkai Nusantara sebagai creator dan pelestari dan pengembangan kuliner Indonesia.
Masak adalah Seni
Menurut Henry, tukang masak sama dengan seniman tato. Culinary Executive Officer – Indonesia 2010 - 2011 "The Influential Culinary Star" ini mengatakan, chef harus mempunyai passion dan kreativitas yang tinggi. Mencampur bahan dasar sampai mengugah selera orang dari cara penyajiannya bukanlah hal mudah. “Selain menguasai ilmu dasar memasak, diperlukan seni dan kreativitas serta keberanian mengeksplorasi,” paparnya.
Sebagian besar chef memang digeluti para laki-laki. Padahal dunia memasak identik dengan perempuan. Menurut Henry, kebanyakan chef laki-laki karena mobilitas di dapur sangat tinggi. Belum lagi alat-alat yang digunakan besar dan berat, termasuk temperatur panas. “Apalagi jika mengurus wedding party sampai 1000 orang. Membuat nasi goreng menggunakan penggorengan besar dan sendoknya seperti dayung. Apalagi makanan Cina, pan-nya berat,” ujar Henry. Tapi tak menutup kemungkinan, kata Henry, ada perempuan yang juga bertugas di hot kitchen.
Indonesian Chef Asossiation
Cikal bakal ICA, diawali saat pertemuan para chef seluruh Indonesia di Bandung tahun 2003, muncul ide Henry untuk melebur jadi satu dalam satu organisasi chef seluruh Indonesia. Kala itu, asosiasi chef masih terbatas per provinsi. Di negara lain, sudah ada asosiasi chef berdasarkan negara. Tahun 2007, ide ini baru dapat direalisasikan, terbentuklah Indonesian Chef Asossiation (ICA). Henry terpilih sebagai wakil ketua. Namun, dalam perjalanan setahun kemudian, ketua lama mundur dan menyerahkan tongkat kepemimpinan ICA kepadanya. Dua kali periode Herny dipercaya menjabat President ICA. Pelantikan inagurasi kepengurusan ICA 2012-2017 28 Agustus oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Elka Marie Pangestu.
Henry mengatakan, ICA terus melakukan pemberdayaan dan pembenahan. ICA bekerja sama dengan Badan Nasional Sertifikasi Profesi untuk memberikan sertifikasi kepada anggotanya dan memberikan pelatihan asesor. Ke depan, ICA akan dilibatkan dalam pemberian nilai bintang pada hotel. Memang ia mengakui, untuk memajukan makanan Indonesia membutuhkan banyak usaha. Salah satunya, sejak tahun 2008, ia mengajak beberapa chef yang di bekerja di luar negeri seperti di Nigeria, Singapura, Belanda, Macau, New York, Qatar, dan Dubai untuk memasukkan makanan Indonesia dalam menunya. Menurutnya, makanan Indonesia sangat digemari orang asing. Ada satu restoran Indonesia di Belanda justru sangat digemari orang asing. Hanya memang, rasa pedas harus dikurangi. Tapi rasa khasnya diusahakan agar tetap dipertahankan.
Ada satu pesannya kepada para chef dan mahasiswa perhotelan yang akan berkarier di dunia pariwisata, untuk bersama-sama memajukan kuliner Indonesia. “Selalu upayakan penggunaan produk lokal untuk ikut berkontribusi pada kesejahteraan petani Indonesia. Produk lokal tidak kalah dengan produk luar, asal bisa mengolah dengan baik dan berani berkreasi,” ajak pemegang certify executive chef. MET.000.001230 ini. Namun, ia menyayangkan, sebagian orang masih menganggap chef asing lebih baik dari chef lokal. Padahal, chef Indonesia tak kalah dengan mereka. Buktinya, banyak chef Indonesia justru berkarier di luar negeri. “Ada satu pernyataan yang membuat saya terenyuh. Ada pernyataan begini, siapa chef-nya? Oh ternyata orang Bali, kenapa bukan orang asing. Orang Indonesia sendiri tidak mau menghargai chef Indonesia. Bagaimana makanan Indonesia mau dihargai,” ujarnya.
Selain itu, menurutnya, makanan Indonesia juga kurang dihargai karena kreativitasnya masih kurang. Padahal, bumbu-bumbu Indonesia lebih kompleks dibandingkan makanan lain. Aroma bumbunya juga khas. “Memang harus diperlukan keberanian berkreativitas,” ujarnya.
Hobi Motor Besar
Selain sibuk memasak, ada satu hobi yang sangat disukai Henry sejak remaja yakni naik motor besar. Ia mengaku hanya memiliki dua hobi, masak dan mengendarai motor Harley. Saat libur, ia biasa melakukan touring bersama klub motor besarnya. Ia menyayangkan, persepsi orang bahwa pengguna motor besar sangat arogan. ”Itu hanya oknum segelintir orang yang merusak citra. Saat touring kami selalu dikawal polisi dan banyak kegiatan sosial yang kami lakukan,” ujar Director Food and Beverage The Breezes Bali Resort & Spa ini. -ast
Koran Tokoh Edisi 707